Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

KAPAN MAKMUN DAPAT SATU RAKA'AT

Saya ingin bertanya, apakah pada sholat yang bacaannya sir, seorang makmum yang tertinggal dan mendapati imam hendak rukuk bisa langsung mengikuti tanpa membaca fatihah dan mendapatkan penuh rakaat tersebut.

Kemudian apabila dalam tiap rakaat makmum kalah cepat dengan imam perihal membaca fatihahnya sehingga imam sudah rukuk tetapi si makmum belum selesai ber fatihah, apa yang mesti dilakukan si makmum. Mohon penjelasannya,

jawaban

Umumnya ulama tetap mengatakan asalkan seorang makmum bisa ikut ruku'' bersama imam, dia sudah mendapatkan satu rakaat, meski secara hakikatnya tidak membaca surat Al-Fatihah. Dan dalilnya adalah sebagai berikut:

Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila kamu datang ke (masjid untuk) shalat berjama’ah, sedangkan kami dalam keadaan sujud, maka sujudlah, namun janganlah kamu menghitungnya sebagai satu raka’at, barang siapa yang yang mendapatkan ruku’ bersama imam, maka ia mendapatkan shalat mendapatkan 1 raka’at tersebut)." (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 468 n’Aunu1 Ma’bud III: 145 no: 875).

Hadits ini jelas sekali keshahihannya dari segi kekuatan sanad. Dan dari segi pengertian, hadits secara tegas menyebutkan bahwa seorang makmum dianggap telah mendapatkan satu rakaat asalkan sempat rukuk bersama imam.

Bagaimana dengan Bacaan Al-Fatihah, Bukankah Wajib Dibaca?

Mungkin ada sebagian orang yang masih sedikit penasaran dan tetap mempermasalahkan hal ini. Sebab makmum yang sempat ikut ruku'' saja dengan imam berarti tidak sempat membaca surat Al-Fatihah. Sementara ada hadits yang menyebutkan bahwa tidak sah shalat seseorang bila tidak membaca surat itu. Termasuk juga oleh makmum di belakang imam.

Dari Ubadah bin Shamit, dia mengabarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Ummul Qur''an (Al-Fatihah)." (HR Muslim)

Hadits ini memang secara tegas menyebutkan bahwa baca surat Al-Fatihah itu merupakan rukun shalat. Bila tidak dibaca, maka shalat itu menjadi tidak sah.

Namun masalah itu terjawab dengan adanya hadits lain danmenjelaskan bahwa bacaan imam sudah cukup bagi makmum, sehingga ketika makmum tidak membaca ummul kitab itu, hukumnya sudah sah.

Dari Jabir berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang mempunyai imam, maka bacaan imam menjadi bacaannya juga." (HR Ahmad).

Jadi kedua hadits di atas bisa kita pertemukan menjadi sebuah kesimpulan, yaitu bahwa imam atau seorang yang shalat sendirian wajib membaca Al-Fatihah. Sedangkan makmum tidak perlu membacanya, karena bacaan imam sudah menjadi bacaan bagi makmum.

Pendekatan Asy-Syafi''i

Namun Al-Imam Asy-Syafi''i sedikit lebih menyempurnakan pertemuan kedua dalil yang kelihatan bertentangan ini. Bagi beliau, meski bacaan Al-Fatihah makmum sudah ''ditanggung'' oleh imam, namun menurut beliau hal itu tidak berlaku untuk semua kasus.

Ketentuan itu bagi beliau hanya berlaku bila makmum sudah tidak sempat baca Al-Fatihah saja. Sedangkan bila makmum sudah ikut imam sejak awal takbiratul ihram, maka menurut beliau makmum tetap masih wajib membaca Al-Fatihah.

Tempat membacanya adalah setelah selesai mendengarkan imam membaca surat itu, setelah mengucapkan lafad ''amiin, sebelum imam membaca surat lain.

Pendekatan Asy-Syafi''i ini menjadi masuk akal saat kita menemukan hadits lain lagi yang ikut mempengaruhi pola pendekatan kita.

Rasululah SAW bersabda, "Apakah kalian membaca (quran) di belakang imam?" Para shahabat menjawab, "Ya." Beliau bersabda, "Jangan kalian lakukan, kecuali surat Al-Fatihah, karena shalat tidak sah kecuali dengan membacanya." (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Hibban)

Di dalam hadits ini lebih jelas lagi Rasulullah SAW memerintahkan untuk makmum membaca surat Al-FAtihah juga. Namun saat makmum terlambat dan tidak sempat atau tidak sempurna membaca surat Al-Fatihah, maka yang diberlakukan adalah hadits yang menyebutkan bahwa bacaan imam sudah menjadi bacaan makmum.

Semua kesimpulan ini adalah ijtihad yang berangkat dari banyaknya dalil yang kelihatan sekilas saling bertentangan. Dan beda pendapat dari hasil ijtihad itu wajar, sangat boleh dan tidak menjadi hal yang perlu ditakutkan.

Orang-orang yang luas ilmunya dan sudah banyak membaca literatur, pasti akan tahu dan siap ental dengan segala perbedaan. Sebaliknya, orang yang dididik secara fanatik dengan satu kesimpulan, memang perlu banyak beradaptasi dengan lingkungan yang ternyata tidak selalu bisa setuju dengan pendapatnya.

Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

0 komentar:

Posting Komentar